Dalam sistem peradilan kerajaan Nagari Ngayogjokarto Hadiningrat, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta terdapat empat macam badan peradilan yaitu Pengadilan Pradoto, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.
- Pengadilan Pradoto merupakan pengadilan sipil yang menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
- Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan.
- Al Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang berlandaskan pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
- Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Ponconiti merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani urusan yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.
Image by jogjakrtaheart |
Perubahan bidang kehakiman mendasar terjadi pada 1831 ketika pemerintah Hindia Belanda setahap demi setahap mencampuri dan mengambil alih kekuasaan kehakiman dari pemerintahan Kasultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kasultanan Yogyakarta sebagai ketua Pengadilan Pradoto sampai dengan pembentukan pengadilan Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. Akhirnya Pengadilan Pradoto dan Bale Mangu dihapuskan masing-masing pada 1916 dan 1917 serta kewenangannya dilimpahkan pada Landraad Yogyakarta. Setelah Kasultanan Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.
Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadoso, Angger Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem, Angger Pradoto Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring dengan berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH pun diganti dengan KUH Belanda seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht.
Ekonomi dan Agraria
Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk menjualnya.Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821 pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada 1904 masa pemerintahan HB VII, manajemen hutan kayu keras di Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi atas persetujuan itu istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.
Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.
Restrukturisasi di zaman HB IX karena dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan romusha oleh Jepang.
Sumber masih sama dengan artikel sebelumnya yaitu wikepedia.org. Sebenarnya banyak sekali Para Blogger Jogja yang menuliskan hal ini, setelah saya amati kebanyak dari mereka juga merujuk dari Wikipedia tetapi hanya Linksnya aja yg di matikan. Karena kebanyakan dari Para Blogger tadi juga seperti saya yang dengan Jelas dan Tegas mendukung PENETAPAN. Karena sebagai Masyrakat Yogyakarta yang amat saya Cintai saya tidak mau Kota kami menjadi ajang Perebutan kekuasaan yang ujung-ujungnya hanya akan melahirkan KORUPSI saja tetapi juga kebijakan-kebijakannyapun pasti juga akan merugikan sendi-sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Karena Kasus Korupsi di Indonesia sudah begitu akutnya dari Olah Raga sampai DEPARTEMEN AGAMA pun tak lepas dari KORUPSI dan sejenisnya. Dan sayapun yakin Jogjakarta pun masih banyak terjadi kasus2 Korupsi dsb dan penyalah gunaan kekuasaan. Dengan adanya RAJA yg menjadi GEBENUR setidak-tidaknya bisa meminimalisir hal2 tersebut. Dan Hal yang utama adalah SEJARAH karena adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi Negara yang Merdeka dan Berdaulat tak Lepas dari Sejarah.
Perbedaan Raja dengan Presiden
Rakyat itu hidup mencari Raja, karena Raja itu yang mempunyai wilayah dan kekuasaan. Maka Dinasti Raja akan diberikan kekuasaanya secara turun temurun. Dan Rakyatlah yang berbondong-bondong datang dan hijrah ke suatu Kerajaan untuk bertempat tinggal. sebagai visualisasi nyata di dalam Prajurit Keraton Yogyakarta ada Prajurit yang disebut dengan Bergodo atau Pasukan Bugis, yang kesemuanya dari orang-orang Bugis. Kemudian Oleh Sultan orang-orang Bugis yang datang dan menetap kedalam kerajaan Mataram atau Yogyakarta diberi Tanah Perdikan atau wilayah yang di beri nama BUGISAN. Yang sampai sekarang Kampung tersebut dikenal dengan Bugisan karena mayoritas pada jaman dahulu di diami oleh Orang-orang Bugis, seperti halnya kampung PECINAN yg sekarang di kenal dengan GANDEKAN. Sedangkan Presiden itu ga bakalan ada kalo tidak mempunyai Rakyat dan wilayah, karena Presiden di pilih oleh rakyat karena Rakyatlah yang mempunyai kekuasaan dan wilayah. Maka Rakyatpun berhak untuk menurunkan Presiden. Inilah sekelumit saja perbedaan yang bisa saya sajikan agar tidak menjenuhkan kalo di baca, karena kalo artikelnya terlalu Panjang sdh pasti pembacanya akan jenuh karena ini bukan Buku.
0 komentar:
Posting Komentar
APA KOMENTAR ANDA KLIK DISINI
Related Post: